Self conflictions

Terkadang merasa bersyukur dan meyakininya sangat berseberangan dengan mengucapkannya. Betapa seringnya saya terjebak dalam pikiran sendiri tentang pertentangan saya setiap hari. Soal apa tujuan hidup saya dan apakah saya telah memilih langkah yang benar menujunya. Saya sering kali sibuk tuding sana dan sini, mencukil kekurangan dan kesalahan orang lain, bahkan tanpa saya pahami saya sering mencari keberuntungan dalam hidup saya dengan membandingkan kesialan orang lain. Sampai berkali-kali saya tertampar realita, bahwa sebenarnya saya hanya insecure atas hidup saya, atas diri saya saat ini, iri akan hidup orang lain yang kesempatannya tidak lagi saya miliki.


Saya merasa tidak percaya diri. Terus mengingat masa lalu akan sosok saya yang tidak akan kembali. Dulu, saya kreatif dan penuh prestasi, setiap ide yang muncul bisa dijalankan dengan ringan. Sekarang, ide brillian pun terkadang tak tersisa tenaga untuk melangkahkannya. Saya rindu akan euphoria dan apresiasi atas banyak orang terhadap diri saya. Apakah saya tidak mampu menciptakan apapun lagi?


Saya dulu adalah penulis yang cukup baik. Sudah hampir satu dekade, tak satupun tulisan saya layak baca bagi publik. Rasanya seperti ada gumpalan lendir di tenggorokan mengakui kenyataan ini. Saya merasa kehilangan jati diri saya. Saya menolak kenyataan, denial. Berkepanjangan.


Bersyukur adalah tameng saya yang paling handal. Saya akan mengusung “bersyukur” sebagai penghibur lara hati. Bersyukur saja lah, toh, masih banyak yang pengin hidup setara keadaan saya dibanding kehidupan mereka. Mereka ini siapa? Saya juga tak tahu. Rasanya seperti terlihat lebih mapan mengusung rasa syukur yang saya garis bawahi, tapi hati kecil tak pernah henti menyontakkan kritik. “Yakin lo bersyukur atas hidup lo sekarang?” 


Jelas saya jujur dan yakin saya sangat bersyukur, saya bisa hidup dengan baik. Tapi, sebagai overthinker dan overachiever yang selalu membanggakan setiap karya yang pernah saya hadirkan, rasanya tidak semua syukur menjadi cerah ceria. Pada beberapa fase, syukur terasa abu-abu. Lalu datanglah sosok saya yang lain (di dalam kepala saya, red.) yang terus mengolok, “lo itu cuma menghibur diri dengan mencari sedikit kebaikan di atas penderitaan.” Bukan kah itu yang disebut bersyukur?


Ingin selalu merasa dibanggakan, ingin selalu merasa diterima, ingin selalu merasa berharga. Tapi saya sibuk mencari itu dari pengakuan orang lain. Bahkan saya tidak pernah menyempatkan waktu untuk menyenangkan sosok saya dengan cara saya. Sesibuk itu kah saya? Tidak juga. Beribu alasan saya gali untuk menunda terus menerus, untuk sekedar memupuk cinta terhadap diri saya sendiri.


Saya terus merasa saya tidak diapresiasi. Padahal, saya harus mengakui, saya pun tidak mengapresiasi diri saya. Seperti banyak pep talk saya kepada teman-teman, “love yourself” i never give my love to the only one that need it the most; me. Ironis. Lingkaran setan yang saya ciptakan sendiri, saya menjadikan saya sebagai korban dan terus membiarkannya terjadi. Ruwet.


Saking takutnya saya akan kegagalan terhadap diri ini, saya terus berlari mencoba menyenangkan orang lain. Agar sejenak merasa saya ini baik. Mencari puja puji bahwa saya ini baik. Lambat laun saya hilang arah. Tidak juga saya mendapat perasaan yang saya harapkan. Tetap sama. Kosong. Tidak puas. Tetap sepi.




Kehilangan kekuatan atau pamor yang saya usung, membuat saya lemah dan takut. Takut terlupakan, takut ketinggalan berita, takut dianggap tidak pandai. Sehari, sebulan, tahunya sudah bertahun-tahun. Lalu mau menyalahkan siapa? Mudahnya menunjuk ini dan itu jauh dari menunjuk diri sendiri, menolak untuk kalah. 


Jujur pada diri sendiri, pada hati, itu berat. Berjuta kebohongan pun tak akan pernah bisa menutup kenyataan saya butuh saya. Saya butuh saya untuk mencintai dan menyayangi saya dengan baik dan benar. Pun saya tahu, saya bingung harus mulai dari mana. 

(November 2021)

Comments