Aku
tidak punya nama. Aku tidak punya pilihan. Aku hanyalah aku. Bila butuh, aku
disayang. Bila sibuk, aku terlupakan. Tentu terdengar menyedihkan, namun
nyatanya aku cukup menikmati hidupku. Hidup yang tidak pernah aku pilih. Aku
cukup terpukau, aku bisa tiba pada titik ini. Such an unpredictable journey, so far...
Aku
tiba di sebuah ruangan bernuansa minimalis di bilangan selatan Jakarta. Aku
menyaksikan dua manusia saling meluapkan rindu. Seorang gadis yang memiliki
banyak hal dalam dirinya namun seperti tersesat dalam tantangan hidup. Jua
seorang pria yang sepertinya pemalu, sangat sensitif namun penyayang, masih
berusaha mencari kepercayaan pada apa yang terjadi. Pelukan erat menyatukan
mereka berdua, lama, memudarkan rasa malu yang terpendarkan di awal.
Mereka
memadu kasih, sepasang adam dan hawa yang telah lama terpisah jarak. Sunyi.
Mereka bercerita dalam diam. Mata saling bertemu, menatap dalam. Senyum, gincu
yang memudar tak hentinya memberi lekuk dalam riang kerinduan. Gugup, kian lama
saling tak berpeluk. Dan aku, sebuah boneka beruang berbulu kecil
menyaksikannya sendiri. Aku bahagia. Sungguh! Seandainya... aku juga bisa
merasakan apa yang mereka rasakan. Seandainya...
Tunggu
dulu! Aku tidak sendiri! Michelle meletakkan aku di meja sebelah TV, di sana
terduduk jua seekor keledai. Bukan, boneka keledai. Milik Paul, katanya. Ya,
Michelle adalah nona peranakan Cina Indonesia yang mengasuh aku, menyayangi
aku. Keledai itu tersenyum hangat menyapaku. Dia juga telah lama menyaksikan
Paul di kamar ini. Paul yang merupakan bule, asli Belanda, mendekatkannya
padaku. Ini seperti perjodohan!
Aku
dan si Donkey akhirnya merelakan diri untuk saling mengenal. Kami bosan
menyaksikan Paul dan Michelle melepas kangen, menggelak tawa, juga saling
merangkul. Aku pun mencoba memahami cerita Donkey, dia berasal dari Yunani.
Aku? Aku asli buatan Indonesia. Cocok? Ah! Apa ini? Kenapa aku sudah berpikir
jauh?
unfinished short story by Ketty Tressianah
Comments
Post a Comment