Beberapa bulan yang lalu, waktu ikutan nonton live di studio salah satu stasiun TV swasta yang memelihara burung elang, talk show paling yahut soal Indonesia dari berbagai sisi, aku menyaksikan orangtua seorang anak yang bunuh diri karena enggak bisa kembali bersekolah. Padahal hanya butuh 25.000 rupiah perbulannya, tapi untuk makan saja perut sering melilit. Hina dan caci dari teman-teman di bekas sekolahnya pun sudah diabaikan demi pen-di-di-kan.
Banyak juga kasus lain, anak-anak yang punya semangat tinggi dan berkehidupan dalam garis kemiskinan, sehabis sekolah kerja keras di jalanan demi mendapat uang untuk sekolah. Semakin hari semakin banyak, semakin susah mendapatkan uang. Makin banyak yang harus putus sekolah.
Belum lagi, sekolah negeri yang dibawahi pemerintah bukannya justru membantu rakyat malah justru menyengsarakan jua. Bagaimana tidak, bayaran dan iurannya juga sama mahal dengan swasta menengah, padahal fasilitas jauh lebih buruk. Guru-gurunya pun terkadang berbuat culas, dengan bermodal statement "ngajar atau enggak pun tetap digaji." Ya, bahkan saya mengalaminya sendiri ketika di SMA.
Sedangkan, cukup banyak sekolah swasta yang bisa memberikan keringanan buat mereka yang berada di garis kesulitan finansial. Sebenarnya, banyak juga sekolah negeri yang memberi keringanan namun tidak sebesar swasta. Umumnya hanya uang pangkal, namun iuran bulanannya tetap sama, berat. Pada hakikatnya, sekolah negeri adalah sekolah yang semestinya mensejahterakan rakyat.
Pendidikan yang lagi-lagi katanya penting, yang menjadi harapan tonggak perubahan bangsa di masa depan, kok kesannya eksklusif? Kemajuan zaman diingkari dengan keotoriteran para pengajar. Memang tidak semua, tapi mayoritas, menerapkan "guru selalu benar." Ada guru-guru yang tidak mau minta maaf pada muridnya ketika beliau bersalah. Ada guru-guru yang menghakimi muridnya tanpa memberikan kesempatan muridnya untuk memberi penjelasan. Ada yang tidak mau menerima masukkan dari siswa-siswinya.
Di balik sisi buruknya pendidikan di Indonesia, ada banyak juga sisi baiknya. Dimana ada guru-guru yang tak mengenal lelah meski daya dan upaya tidak membawakan kesejahteraan lahir. Menempuh jarak yang jauh, memiliki benda dan harta yang sedikit, meninggal rumah dalam terang bulan dan kembali bermandikan cahaya bulan lagi.
Masih ada guru-guru yang bersedia mengajarkan tak kenal waktu, tak pandang bulu, yang sabar dan bijak, yang ramah dan pengertian. Mereka berbagi, mereka bermimpi, menaruh harapan pada anak-anak berseragam, bukan materi jua bukan sanjung puji, sekedar senyum di akhir karir nanti. Memimpikan perubahan yang signifikan, yang sanggup menggetarkan jiwa berbalut raga, yang mampu mengobarkan merah putih bagai sayang garuda nan perkasa.
Tapi semua itu terkemas campur aduk. Sedang populasi generasi muda makin menggelegak, semangat mulai berkobaran, meski banyak jua yang tergilas dan terpadamkan paksa. Harta yang jadi buah bicara. Yang makmur makin sentausa, yang sengsara makin tersiksa. Adil itu bagai tertinggal di zaman yang jauuuuuuh sekali dari peradaban. Dijaga raksasa-raksasa liar yang membuatnya sulit terjamah kembali.
Pada siapa rakyat kecil mengadu? Pada siapa pemimpi-pemimpi besar menggantungkan tekadnya, pada siapa kami mengadu? Katanya kita demokrasi kerakyatan. Dimana rakyat hidup bekerja dan berbahagia bersama demi rakyat dan bersama rakyat. Nyatanya rakyat kan hanya wacana, yang ada korupsi, yang ada ketidakadilan, yang ada ketidaksejahteraan, yang ada manipulasi konspirasi. Hangus terbakar lara.
"Oh lihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intan yang terkenang..." Penggalan lagu, menyampaikan pada kita, bukan hanya warga yang disebut sebagai warga negara Indonesia saja yang merintih dalam keterinjak-injakan, jua alam Nusantara yang terluka. Tertawalah, bercengkerama dengan keangkuhan sebagai petinggi yang memiliki pundi-pundi uang, kami berdoa adanya mukzizat yang rendah hati ingin menyapamu.
Tapi kini aku ragu, jikalau memang pendidikan itu penting, mengapa orang yang berpendidikan yang kini menjabat di pemerintahan dan departemen-departemen kenegaraan, pengusaha-pengusaha yang uangnya tak berbatas, justru tampil dan tampak bagai tak berpendidikan. Salah siapa? Apa artinya? Mereka bagai tuliiiiii! Mereka bagai bisuuuu! Mereka bagai bayangan-bayangan semu nan palsu. Mereka merusak citra yang mereka bangun sendiri. Mereka kah yang patut kami jadikan contoh untuk masa depan kami?
Tapi kami punya cita, sebagaimana yang tertera dalam panca sila, sebagaimana tersurat di lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dan saya tidak akan berhenti bermimpi dan berusaha. Demi pendidikan, sesulit apapun ini, kuhadapi, kuperjuangkan. Dan kiranya perlu kami, aku, kita, membuktikan sendiri, apakah pendidikan sepenting itu?
Salam hangat,
Ketty Tressianah
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Comments
Post a Comment