Hello hello hello!
Happy Friday semuanya. Kali ini gue akan posting sesuatu yang bisa dinikmati hanya oleh orang-orang yang mengerti bahasa Indonesia. ehehehe.
Hari ini gue sama Ditha sama sama enggak ada kerjaan. Chat lah kita di msn. Berawal dari ke-enggak-ada-kerjaan-an, kita menciptakan cerita antiklimaks yang enggak berujung. but it intereseting! Enjoy this readers. *cium basah*
Ketty Tressianah: Langit lagi-lagi menunjukkan kontranya kepada bumi. Sudah lelah air wajah yang nampak. Kerut-kerut kejengkelan merebak. Dan keemasan warna jingga dipandang mata mulai merengut. Pusing melihat bumi belum juga kunjung paham.
dithaa: Begitu pun dengan perempuan dengan bingkai kacamata yg longgar di batang hidungnya. Ia ingin marah. Ia ingin semua orang menyadari kemarahannya. Tapi tidak bisa. Belum bisa, begitu menurutnya. Ia tidak-ups, belum- bisa menguasai dirinya untuk menjadi dirinya sendiri. Langit dan bumi seperti hati dan kepalanya. Berdampingan tapi belum juga satu
Ketty Tressianah: Langkahnya kian gusar. Kadang dihentaknya keras pijakan kesekian pada bumi yang mulai banyak bicara. Juga sesekali geramnya didendangkan untuk langit. Hatinya kian panas, tapi juga letih. Ingin mendelik dan menyerapahi banyak orang, tapi naas hanya dirinya sendiri yang tersisa.
dithaa: Diam.
dithaa: Baru itu yang bisa ia lakukan, atau yang biasa dilakukannya. Biar. Biar saja semua kegilaan di batinnya itu menguap dengan sendirinya, seperti biasanya. Toh, bumi tetap berotasi biar langit mengamuk badai?
Ketty Tressianah: Angin mengusap lelahnya. Peluh yang betah memeluknya mulai mengerak. Dentingan detik di jam tangan serasa menggelegar tiap waktu. Angin lagi mencoba menghibur. Membisikkan tiap kata bijak yang belum sanggup kucerna. Diam. tapi senyap tidak hadir.
dithaa: Datang lagi?
dithaa: Dua potong kata dari wanita paruh baya di hadapannya seperti umpatan jengah ketika mampir di telinga gadis itu.
dithaa: Hanya mengangguk lalu mengambil kursi yang sama saat pertama ia datang ke perpustakaan itu dua-tiga tahun lalu
dithaa: Ia akan lebih baik di situ. Di tempat pertama ia mengenal sosok bernama Galuh
Ketty Tressianah: "kau sebenarnya cari apa sih disini?" Wanita paruh baya yang akhirnya diketahui bernama Lili itu tegelitik penasaran. Pasalnya, gadis berkacamata ini selalu mampir dengan wajah dingin yang tegang. Jengah kadang, tapi juga iba.
Ketty Tressianah: "Bukan apa-apa." Ingin rasanya ia ungkapkan rentetan kalimat, membeberkan uneg-uneg yang kian bikinnya eneg. Tapi hanya tiga kata yang terlontar. Lalu diam kembali menjadi teman yang baik.
dithaa: Itu kali pertama si penjaga menghampirinya dengan penuh tanya menggebu. Ia jadi tak enak hati, sekali ini biar ia membuat kejujuran "Buku"
dithaa: Aku cari buku yg tidak juga ketemukan sampai hari ini
Ketty Tressianah: "Biar aku bantu. Buku apa yang kau cari?" Baru kali ini lili bisa melihat dengan jelas pupil mata yang bercerita milik gadis itu. Masa iya, 3 tahun buku itu tetap tak kunjung ditemuinya.
Ketty Tressianah: Matanya, pupil itu, menceritakan kegalauan yang terkekang. tak tega rasanya. Tapi daya apa yang ia miliki, hanya doa.
dithaa: Mulut kerucut milik Lily siap menyambar gemas, pertanyaan terlalu banyak di kepalanya tanpa satu jawab pasti dari lawan bicaranya, tapi melihat wajah kosong-tegang gadis di hadapannya, ia mengalah. Ia tinggalkan sekelumit keanehan itu. Mungkin cuma ketenangan perpus yang dibutuhkan tamunya itu. Sekali ini wanita gempal itu belajar sabar.
Ketty Tressianah: "Bu Lili..." Entah kenapa hatinya sangat kuat menginginkan sedikit bincang-bincang dengan wanita yang terlihat sangat anggun dengan rok panjang batiknya itu. Bu Lili menoleh sekalipun tertegun. "Ya?" Hanya dua huruf yang bisa membobol keterkejutannya. Gadis itu menatap buyar.
Ketty Tressianah: "Ibu tau Galuh?" Kelu akhirnya...
dithaa: Sunyi sekali setelah nama itu akhirnya terbata keluar dari bibirnya. Ia belum pernah bertemu si pemilik nama Galuh itu. Ia tidak tahu bagaimana wajahnya. Ia tidak tahu seperti apa suaranya. Ia tidak mengenal caranya tertawa atau bagaimana gerak bibirnya menyebut sepotong nama. Ia hanya mengenal Galuh dari sebuah buku. Buku yang selalu ia dan Galuh pinjam bergantian untuk menyelipkan sebuah kertas
dithaa: Kertas percakapan
Ketty Tressianah: Tapi, sudah hampir setahun lamanya kertas itu tak kunjung berbalas. Bukunya pun tak tersentuh lagi. Kemana Galuh? Apa bosan iya bercakap denganku? Apa aku memang hanya sepenggal keisengannya? Galuh...
Ketty Tressianah: Hembusan nafas kasar memecah kesunyian. Berat. Bu Lili duduk di sisi gadis yang kini hanya nampak menunduk. "Galuh..." Bu lili membenarkan cepolnya. Getir. "Dia..."
dithaa: "Ak-aku tidak tahu."
Kali ini Lily benar-benar menjauh dari jangkauan perempuan berwajah sendu itu. Dia belum sanggup.
dithaa: Ini bukan perkara gampang baginya
dithaa: Kalau saja ia tidak pernah mengenal Galuh...
Ketty Tressianah: Kini gadis itu menjatuhkan kepalanya dalam. Bahkan Bu Lily yang ayu itu mengesankan hal yang sama. Galuh... Rahasia apa yang tersirat olehmu?
Ketty Tressianah: Benci. Ia benci sekali. Kini air mata menitik. Satu. Lalu dua. Kini tangisnya merintik dalam diam. Bu Lily pergi. Perpustakaan ini terasa begitu luas tanpa dinding ujung. Dan ia sendiri.
Ketty Tressianah: Dipandangi buku yang mulai berdebu diantara buku tebal lain yang sama haus belaiannya. Buku di rak level tiga di sisi timur ruang perpustakaan ini. Buku yang sama sekali tidak mencolok, kecuali baginya.
dithaa: Buku ini?
dithaa: Wajah tegangnya makin menampakkan gestur yang keras. Matanya nanar menatap sampul buku yang sangat dikenalnya itu.
dithaa: Ia menemukannya kembali. Tapi bukan buku yang ia cari.
dithaa: Hanya satu dari copy yang sama.
dithaa: Ia sangat hapal buku yang dulu ia saling pinjam bergantian dengan Galuh. Bahkan sampai ujung sampulnya yang terkena titik noda kopi
dithaa: Kalau saja...
dithaa: Ah! Tiba-tiba isi kepalanya tersengat suatu ide. Mungkin ada baiknya ia mencoba. Ia ambil secarik kertas di saku tas selempangnya. Ia goreskan sepotong kata dengan tinta birunya, "halo"
dithaa: Mungkin ada baiknya ia mulai kembali permainan itu. Otot wajahnya mulai mengendur. Ia letakkan buku 576 halaman itu di meja yang biasa ia tempati. Kalau takdir mengizinkan...
Ketty Tressianah: Setahun sudah permainan ini terhenti dengan janggal. Banyak pertanyaan menjalar bagai tanaman rambat yang kian subur seiring berjalannya waktu. Jawabannya hanya ada pada Galuh.
Ketty Tressianah: Dengan berat diseretnya kaki yang mulai enggan untuk berfungsi. Dengan penuh kegetiran, diliriknya lagi buku yang tergeletak itu. Akankah harapannya tersambut?
Yak itu aja. panjang ya? hahahaha.
Kalian akan menemukn banyak lagi aksi kami yang gila. *cium cium cium*
see you later readers!
Happy Friday semuanya. Kali ini gue akan posting sesuatu yang bisa dinikmati hanya oleh orang-orang yang mengerti bahasa Indonesia. ehehehe.
Hari ini gue sama Ditha sama sama enggak ada kerjaan. Chat lah kita di msn. Berawal dari ke-enggak-ada-kerjaan-an, kita menciptakan cerita antiklimaks yang enggak berujung. but it intereseting! Enjoy this readers. *cium basah*
Ketty Tressianah: Langit lagi-lagi menunjukkan kontranya kepada bumi. Sudah lelah air wajah yang nampak. Kerut-kerut kejengkelan merebak. Dan keemasan warna jingga dipandang mata mulai merengut. Pusing melihat bumi belum juga kunjung paham.
dithaa: Begitu pun dengan perempuan dengan bingkai kacamata yg longgar di batang hidungnya. Ia ingin marah. Ia ingin semua orang menyadari kemarahannya. Tapi tidak bisa. Belum bisa, begitu menurutnya. Ia tidak-ups, belum- bisa menguasai dirinya untuk menjadi dirinya sendiri. Langit dan bumi seperti hati dan kepalanya. Berdampingan tapi belum juga satu
Ketty Tressianah: Langkahnya kian gusar. Kadang dihentaknya keras pijakan kesekian pada bumi yang mulai banyak bicara. Juga sesekali geramnya didendangkan untuk langit. Hatinya kian panas, tapi juga letih. Ingin mendelik dan menyerapahi banyak orang, tapi naas hanya dirinya sendiri yang tersisa.
dithaa: Diam.
dithaa: Baru itu yang bisa ia lakukan, atau yang biasa dilakukannya. Biar. Biar saja semua kegilaan di batinnya itu menguap dengan sendirinya, seperti biasanya. Toh, bumi tetap berotasi biar langit mengamuk badai?
Ketty Tressianah: Angin mengusap lelahnya. Peluh yang betah memeluknya mulai mengerak. Dentingan detik di jam tangan serasa menggelegar tiap waktu. Angin lagi mencoba menghibur. Membisikkan tiap kata bijak yang belum sanggup kucerna. Diam. tapi senyap tidak hadir.
dithaa: Datang lagi?
dithaa: Dua potong kata dari wanita paruh baya di hadapannya seperti umpatan jengah ketika mampir di telinga gadis itu.
dithaa: Hanya mengangguk lalu mengambil kursi yang sama saat pertama ia datang ke perpustakaan itu dua-tiga tahun lalu
dithaa: Ia akan lebih baik di situ. Di tempat pertama ia mengenal sosok bernama Galuh
Ketty Tressianah: "kau sebenarnya cari apa sih disini?" Wanita paruh baya yang akhirnya diketahui bernama Lili itu tegelitik penasaran. Pasalnya, gadis berkacamata ini selalu mampir dengan wajah dingin yang tegang. Jengah kadang, tapi juga iba.
Ketty Tressianah: "Bukan apa-apa." Ingin rasanya ia ungkapkan rentetan kalimat, membeberkan uneg-uneg yang kian bikinnya eneg. Tapi hanya tiga kata yang terlontar. Lalu diam kembali menjadi teman yang baik.
dithaa: Itu kali pertama si penjaga menghampirinya dengan penuh tanya menggebu. Ia jadi tak enak hati, sekali ini biar ia membuat kejujuran "Buku"
dithaa: Aku cari buku yg tidak juga ketemukan sampai hari ini
Ketty Tressianah: "Biar aku bantu. Buku apa yang kau cari?" Baru kali ini lili bisa melihat dengan jelas pupil mata yang bercerita milik gadis itu. Masa iya, 3 tahun buku itu tetap tak kunjung ditemuinya.
Ketty Tressianah: Matanya, pupil itu, menceritakan kegalauan yang terkekang. tak tega rasanya. Tapi daya apa yang ia miliki, hanya doa.
dithaa: Mulut kerucut milik Lily siap menyambar gemas, pertanyaan terlalu banyak di kepalanya tanpa satu jawab pasti dari lawan bicaranya, tapi melihat wajah kosong-tegang gadis di hadapannya, ia mengalah. Ia tinggalkan sekelumit keanehan itu. Mungkin cuma ketenangan perpus yang dibutuhkan tamunya itu. Sekali ini wanita gempal itu belajar sabar.
Ketty Tressianah: "Bu Lili..." Entah kenapa hatinya sangat kuat menginginkan sedikit bincang-bincang dengan wanita yang terlihat sangat anggun dengan rok panjang batiknya itu. Bu Lili menoleh sekalipun tertegun. "Ya?" Hanya dua huruf yang bisa membobol keterkejutannya. Gadis itu menatap buyar.
Ketty Tressianah: "Ibu tau Galuh?" Kelu akhirnya...
dithaa: Sunyi sekali setelah nama itu akhirnya terbata keluar dari bibirnya. Ia belum pernah bertemu si pemilik nama Galuh itu. Ia tidak tahu bagaimana wajahnya. Ia tidak tahu seperti apa suaranya. Ia tidak mengenal caranya tertawa atau bagaimana gerak bibirnya menyebut sepotong nama. Ia hanya mengenal Galuh dari sebuah buku. Buku yang selalu ia dan Galuh pinjam bergantian untuk menyelipkan sebuah kertas
dithaa: Kertas percakapan
Ketty Tressianah: Tapi, sudah hampir setahun lamanya kertas itu tak kunjung berbalas. Bukunya pun tak tersentuh lagi. Kemana Galuh? Apa bosan iya bercakap denganku? Apa aku memang hanya sepenggal keisengannya? Galuh...
Ketty Tressianah: Hembusan nafas kasar memecah kesunyian. Berat. Bu Lili duduk di sisi gadis yang kini hanya nampak menunduk. "Galuh..." Bu lili membenarkan cepolnya. Getir. "Dia..."
dithaa: "Ak-aku tidak tahu."
Kali ini Lily benar-benar menjauh dari jangkauan perempuan berwajah sendu itu. Dia belum sanggup.
dithaa: Ini bukan perkara gampang baginya
dithaa: Kalau saja ia tidak pernah mengenal Galuh...
Ketty Tressianah: Kini gadis itu menjatuhkan kepalanya dalam. Bahkan Bu Lily yang ayu itu mengesankan hal yang sama. Galuh... Rahasia apa yang tersirat olehmu?
Ketty Tressianah: Benci. Ia benci sekali. Kini air mata menitik. Satu. Lalu dua. Kini tangisnya merintik dalam diam. Bu Lily pergi. Perpustakaan ini terasa begitu luas tanpa dinding ujung. Dan ia sendiri.
Ketty Tressianah: Dipandangi buku yang mulai berdebu diantara buku tebal lain yang sama haus belaiannya. Buku di rak level tiga di sisi timur ruang perpustakaan ini. Buku yang sama sekali tidak mencolok, kecuali baginya.
dithaa: Buku ini?
dithaa: Wajah tegangnya makin menampakkan gestur yang keras. Matanya nanar menatap sampul buku yang sangat dikenalnya itu.
dithaa: Ia menemukannya kembali. Tapi bukan buku yang ia cari.
dithaa: Hanya satu dari copy yang sama.
dithaa: Ia sangat hapal buku yang dulu ia saling pinjam bergantian dengan Galuh. Bahkan sampai ujung sampulnya yang terkena titik noda kopi
dithaa: Kalau saja...
dithaa: Ah! Tiba-tiba isi kepalanya tersengat suatu ide. Mungkin ada baiknya ia mencoba. Ia ambil secarik kertas di saku tas selempangnya. Ia goreskan sepotong kata dengan tinta birunya, "halo"
dithaa: Mungkin ada baiknya ia mulai kembali permainan itu. Otot wajahnya mulai mengendur. Ia letakkan buku 576 halaman itu di meja yang biasa ia tempati. Kalau takdir mengizinkan...
Ketty Tressianah: Setahun sudah permainan ini terhenti dengan janggal. Banyak pertanyaan menjalar bagai tanaman rambat yang kian subur seiring berjalannya waktu. Jawabannya hanya ada pada Galuh.
Ketty Tressianah: Dengan berat diseretnya kaki yang mulai enggan untuk berfungsi. Dengan penuh kegetiran, diliriknya lagi buku yang tergeletak itu. Akankah harapannya tersambut?
Yak itu aja. panjang ya? hahahaha.
Kalian akan menemukn banyak lagi aksi kami yang gila. *cium cium cium*
see you later readers!
Comments
Post a Comment