Aku...
Sendiri...
Merasa sepi..
Ketika...
Dirimu...
Sudah...
Tiada lagi...
Menemani...
Permainanku..............
Sendiri...
Merasa sepi..
Ketika...
Dirimu...
Sudah...
Tiada lagi...
Menemani...
Permainanku..............
Aku pusing, saat harus berjalan melewati segerombolan orang di bale-bale kampung yang letaknya di ujung jalan. Mereka rese! Suka usil sama anak gadis yang lewat. Sayangnya, aku enggak punya pilihan lain. Cuma ini jalan terdekat untuk bisa membeli sembako. Warung mang Sabil, tempat yang aku tuju. Mesti melewati bale-bale kampung lalu berbelok ke kiri. Kalau tidak melewati jalan ini, aku mesti memutar dan menyebrangi sungai yang biasa di jadikan tempat preman-preman kampung sebelah berpesta miras. Aku semakin seram. Ngeri!
Aku menunduk sambil memelintir ujung kaos gombrongku. Benar saja, meski jarak bale denganku masih terpaut sepuluh meter, riuh ramai siulan sautan serta sapaan sapaan mengganggu menghujamku. "Aduuh Intan... Mau diantar abang? Abang bawa pulang euy!" atau "Sayang intan, mau kemana eta teh? Seksi pisan..."
Hufh! Seksi? Apa coba? Mana bisa di bilang seksi dengan kaos gombrong dan rok A-line tanggung? Tapiii, hanya satu yang buatku sedikit senang melewati bale kampung ini. Mas Zamir. Saat yang lain sedang asik bersiul, mengganggu gadis sekampung, bermain gaple, mas Zamir malah asik bergitar sambil menerawang. Mas Zamir memang enggak tampan seperti chace Crawford, ataupun se-cute Kevin Aprilio, tapi senyuman dengan lesung pipinya sanggup menggegerkan benteng angkuhku.
ya ya ya, Aku Nayrami. Gadis kota yang menyamar sebagai gadis desa. Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Bi Karsih, bekas pembantuku waktu di jakarta. Klise memang kalau mendengar cerita orang kota bersembunyi di desa. tapi aku begini bukan karena latah atau mencari sensasi. Tapi karena aku harus menenangkan diriku setelah depresi yang cukup lama.
Semenjak bunda meninggal, papi enggak pernah lagi seceria dulu. Vayra, adikku enggak bisa pulang sebelum jam 3 pagi dengan bau alkohol. Khas orang metropolitan. Aku mulai pusing dengan segala hal yang mesti aku handle. Enggak lagi bisa bercerita sambil manja-manjaan dengan papi, atau curhat-curhatan sambil luluran bersama Vayra. Hidup bahagiaku telah tamat dalam episode kali ini. Aku berubah menjadi si gadis yang terkurung gaya hidup orang kota.
Dulu bunda suka masakin aku semur tempe yang supeeeer dahsyat enaknya. Aku, papi, dan vayra pasti berebutan. Tapi dulu sebelum bunda meninggal. Sudah cukup aku menghadapi perubahan Vayra yang cenderung moody dan pemarah. Jangankan untuk curhat, menyapa di pagi hari sama dengan menyulut kejutekkannya. papi? Kapan inget pulang, rumah kok kaya kos kosan.
Mas Zamir, enggak sekalipun dia pernah tersenyum, menyapa, atau menggodaku. DIa cenderung tak perduli dengan gadis-gadis di kampung ini. Gosipnya yang aku dengar, mas Zamir tengah di butakan cinta, tapi cinta hitam, alias pelet. Hiii, ini nih yang aku risihkan kalau tinggal di kampung. Ada aja hal-hal aneh yang enggak bisa di cerna sama logika. Aku enggak tahu apa-apa mengenai pelet dan sistem kerja si pelet. Aku ini dokter, dokter ahli bedah, tapi enggak bisa ngebedah ilmu-ilmu kasat mata seperti itu.
Aku kembali memacu langkahku, deg-degan menghampiri lagi. Kantong belanjaanku telah penuh. Jelas sekali aku kepayahan menentengnya. Haduh, aku enggak mau menginjak gengsiku jika mesti di bantu pemuda-pemuda sinting di bale kampung itu. Mulutnya bau tanah, badannya bau naga, hiii. Aku hanya menunduk sambil menjinjing kantong belanjaku. Dalam hati kuucap, ya ampun God, pliiis, jauhkan mereka dariku!
"Nay, mau saya bantu membawa kantong belanjanya?" aku segera menoleh, ketika seseorang menepuk bahuku pelan. Posturnya lebih tinggi dariku, berkulit kecoklatan, dan mengenakan polo shirt. Bukan, ini bukan mas Zamir. Aku enggak tahu, siapa dia. Kenapa tahu namaku. Aku belum tahu. "Makasi, enggak usah, gue masih kuat kok!" balasku sedikit cemas.
"Derio Brawiharja. Anak kedokteran UGM, hmm, baru lulus setelah ambil spesialisasi." hadangnya cepat sambil menyodorkan jabat tangan. Derio? Hmm, boleh lah. Tinggi, berbadan atletis, dan senyum yang macho. Deskripsi macho itu seperti apa ya? Perpaduan antara cool dan manis, serta garang. "Nayrami." Senyum macho-nya kembali mengembang.
"kalau dokter ahli bedah melarikan diri karena otaknya terganggu, dokter ahli saraf dan kejiwaan boleh membantu dong?" celotehnya sambil memaksa dengan halus menggantikan kewajibanku menjinjing belanjaan. "Gue enggak melarikan diri, gue cuma menyendiri." sebutir batu menjadi korbanku. Ku siksa dengan hantaman sendal jepit converse warna hitam kesayanganku.
"Kenapa enggak juga mau pulang ke Jakarta?" tanyanya halus tapi mendesak. Aku mulai sebal, siapa sih dia, berani-beraninya ikut campur pribadiku. Meskipun aku sedikit senang dan menikmati kala aku lewat bale kampung tanpa komentar menjijikan serta tatapan gadis kampung yang penuh iri. Nayrami kembali jadi kontroversi.
"jakarta? Gue asli sini kok, tinggal sama bibi gue. Lo salah orang kali." ucapku cepat.
"Nayrami Alviras Darinatami, kamu enggak perlu menyangkal kenyataan lah. Mami kamu meninggal, dan semua itu bukan salahmu."
"Bunda meninggal emang bukan karena gue, tapi lo enggak tau dan enggak ngerti apa yang terjadi setelah bunda meninggal!" balasku kasar seraya menarik kantong belanjaanku.
"Pengecut kamu! Coba kamu berhenti dan bilang sama aku kalau kamu ke sini bukan untuk melarikan diri. Bukan karena kamu muak di rumah dengan papi dan adikmu! Cobaaa!" aku tersentak dan membatu. Kenapa kalau sudah tahu masih mendesak. Perih.
"Sudahlah, mending lo pulang. Gue enggak kenal sama lo."
"Pernah ingat kalau papi kamu punya sahabat yang selalu ketemu tiap dua bulan?"
"Om Tino. Kok lo tau?"
"Derio Brawiharja Fardadh."
"Anaknya om Tino? Lo gilaaa!"
"ENggak kok, aku cuma enggak mau kamu begini!"
"Gue baik-baik aja. Lo pulang dan jangan bilang-bilang gue di sini. Plis!"
"Enggak bisa. Om Graydi, udah mempercayakan kamu ke aku sampai pulang."
"YOU WISH!!!!!"
"Bi, aku mesti pulang. Ada orang yang mengganggu aku di sini. Kalau bibi sudah sehat, kembali ke Jakarta ya bi. Rumah Setiawan Fardhan akan selalu terbuka buat bibi." aku mengemas semua barang-barangku. Ciuman hangan ku sapukan di pipi bi Karsih. Dia sudah seperti nenekku, sebelum nenek lupa padaku. "ndok, kamu hati-hati yoo, nanti kalo si Ani wis mule, aku tak balik ke Jakarta. Tapi ya kamu mesti berenti begini."
"berenti begini gimana?" aku mulai heran.
"Berenti untuk mengada-ada sesuatu seenaknya. Bibi tahu, kamu enggak sadar hal ini."
"hal ini apa, Bi?"
"Kamu...." aku menanti kegantungan kalimat bi Karsih. " Kamu...."
"Kamu apa bi? Selesaikan dong, aku penasarannya nih."
"Kamu berkepribadian ganda sayang. Dan Derio itu pacar kamu. Sudah cukup permainanmu. Jangan begini terus sayang..."
"Aku...???"
tas ransel di pundakku merosot. AKu terguling di lantai, aku? Aku belum sanggup menerima kenyataan pahit ini. Jadiii? Aku? Oh tidak!
Aku menunduk sambil memelintir ujung kaos gombrongku. Benar saja, meski jarak bale denganku masih terpaut sepuluh meter, riuh ramai siulan sautan serta sapaan sapaan mengganggu menghujamku. "Aduuh Intan... Mau diantar abang? Abang bawa pulang euy!" atau "Sayang intan, mau kemana eta teh? Seksi pisan..."
Hufh! Seksi? Apa coba? Mana bisa di bilang seksi dengan kaos gombrong dan rok A-line tanggung? Tapiii, hanya satu yang buatku sedikit senang melewati bale kampung ini. Mas Zamir. Saat yang lain sedang asik bersiul, mengganggu gadis sekampung, bermain gaple, mas Zamir malah asik bergitar sambil menerawang. Mas Zamir memang enggak tampan seperti chace Crawford, ataupun se-cute Kevin Aprilio, tapi senyuman dengan lesung pipinya sanggup menggegerkan benteng angkuhku.
ya ya ya, Aku Nayrami. Gadis kota yang menyamar sebagai gadis desa. Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Bi Karsih, bekas pembantuku waktu di jakarta. Klise memang kalau mendengar cerita orang kota bersembunyi di desa. tapi aku begini bukan karena latah atau mencari sensasi. Tapi karena aku harus menenangkan diriku setelah depresi yang cukup lama.
Semenjak bunda meninggal, papi enggak pernah lagi seceria dulu. Vayra, adikku enggak bisa pulang sebelum jam 3 pagi dengan bau alkohol. Khas orang metropolitan. Aku mulai pusing dengan segala hal yang mesti aku handle. Enggak lagi bisa bercerita sambil manja-manjaan dengan papi, atau curhat-curhatan sambil luluran bersama Vayra. Hidup bahagiaku telah tamat dalam episode kali ini. Aku berubah menjadi si gadis yang terkurung gaya hidup orang kota.
Dulu bunda suka masakin aku semur tempe yang supeeeer dahsyat enaknya. Aku, papi, dan vayra pasti berebutan. Tapi dulu sebelum bunda meninggal. Sudah cukup aku menghadapi perubahan Vayra yang cenderung moody dan pemarah. Jangankan untuk curhat, menyapa di pagi hari sama dengan menyulut kejutekkannya. papi? Kapan inget pulang, rumah kok kaya kos kosan.
Mas Zamir, enggak sekalipun dia pernah tersenyum, menyapa, atau menggodaku. DIa cenderung tak perduli dengan gadis-gadis di kampung ini. Gosipnya yang aku dengar, mas Zamir tengah di butakan cinta, tapi cinta hitam, alias pelet. Hiii, ini nih yang aku risihkan kalau tinggal di kampung. Ada aja hal-hal aneh yang enggak bisa di cerna sama logika. Aku enggak tahu apa-apa mengenai pelet dan sistem kerja si pelet. Aku ini dokter, dokter ahli bedah, tapi enggak bisa ngebedah ilmu-ilmu kasat mata seperti itu.
Aku kembali memacu langkahku, deg-degan menghampiri lagi. Kantong belanjaanku telah penuh. Jelas sekali aku kepayahan menentengnya. Haduh, aku enggak mau menginjak gengsiku jika mesti di bantu pemuda-pemuda sinting di bale kampung itu. Mulutnya bau tanah, badannya bau naga, hiii. Aku hanya menunduk sambil menjinjing kantong belanjaku. Dalam hati kuucap, ya ampun God, pliiis, jauhkan mereka dariku!
"Nay, mau saya bantu membawa kantong belanjanya?" aku segera menoleh, ketika seseorang menepuk bahuku pelan. Posturnya lebih tinggi dariku, berkulit kecoklatan, dan mengenakan polo shirt. Bukan, ini bukan mas Zamir. Aku enggak tahu, siapa dia. Kenapa tahu namaku. Aku belum tahu. "Makasi, enggak usah, gue masih kuat kok!" balasku sedikit cemas.
"Derio Brawiharja. Anak kedokteran UGM, hmm, baru lulus setelah ambil spesialisasi." hadangnya cepat sambil menyodorkan jabat tangan. Derio? Hmm, boleh lah. Tinggi, berbadan atletis, dan senyum yang macho. Deskripsi macho itu seperti apa ya? Perpaduan antara cool dan manis, serta garang. "Nayrami." Senyum macho-nya kembali mengembang.
"kalau dokter ahli bedah melarikan diri karena otaknya terganggu, dokter ahli saraf dan kejiwaan boleh membantu dong?" celotehnya sambil memaksa dengan halus menggantikan kewajibanku menjinjing belanjaan. "Gue enggak melarikan diri, gue cuma menyendiri." sebutir batu menjadi korbanku. Ku siksa dengan hantaman sendal jepit converse warna hitam kesayanganku.
"Kenapa enggak juga mau pulang ke Jakarta?" tanyanya halus tapi mendesak. Aku mulai sebal, siapa sih dia, berani-beraninya ikut campur pribadiku. Meskipun aku sedikit senang dan menikmati kala aku lewat bale kampung tanpa komentar menjijikan serta tatapan gadis kampung yang penuh iri. Nayrami kembali jadi kontroversi.
"jakarta? Gue asli sini kok, tinggal sama bibi gue. Lo salah orang kali." ucapku cepat.
"Nayrami Alviras Darinatami, kamu enggak perlu menyangkal kenyataan lah. Mami kamu meninggal, dan semua itu bukan salahmu."
"Bunda meninggal emang bukan karena gue, tapi lo enggak tau dan enggak ngerti apa yang terjadi setelah bunda meninggal!" balasku kasar seraya menarik kantong belanjaanku.
"Pengecut kamu! Coba kamu berhenti dan bilang sama aku kalau kamu ke sini bukan untuk melarikan diri. Bukan karena kamu muak di rumah dengan papi dan adikmu! Cobaaa!" aku tersentak dan membatu. Kenapa kalau sudah tahu masih mendesak. Perih.
"Sudahlah, mending lo pulang. Gue enggak kenal sama lo."
"Pernah ingat kalau papi kamu punya sahabat yang selalu ketemu tiap dua bulan?"
"Om Tino. Kok lo tau?"
"Derio Brawiharja Fardadh."
"Anaknya om Tino? Lo gilaaa!"
"ENggak kok, aku cuma enggak mau kamu begini!"
"Gue baik-baik aja. Lo pulang dan jangan bilang-bilang gue di sini. Plis!"
"Enggak bisa. Om Graydi, udah mempercayakan kamu ke aku sampai pulang."
"YOU WISH!!!!!"
"Bi, aku mesti pulang. Ada orang yang mengganggu aku di sini. Kalau bibi sudah sehat, kembali ke Jakarta ya bi. Rumah Setiawan Fardhan akan selalu terbuka buat bibi." aku mengemas semua barang-barangku. Ciuman hangan ku sapukan di pipi bi Karsih. Dia sudah seperti nenekku, sebelum nenek lupa padaku. "ndok, kamu hati-hati yoo, nanti kalo si Ani wis mule, aku tak balik ke Jakarta. Tapi ya kamu mesti berenti begini."
"berenti begini gimana?" aku mulai heran.
"Berenti untuk mengada-ada sesuatu seenaknya. Bibi tahu, kamu enggak sadar hal ini."
"hal ini apa, Bi?"
"Kamu...." aku menanti kegantungan kalimat bi Karsih. " Kamu...."
"Kamu apa bi? Selesaikan dong, aku penasarannya nih."
"Kamu berkepribadian ganda sayang. Dan Derio itu pacar kamu. Sudah cukup permainanmu. Jangan begini terus sayang..."
"Aku...???"
tas ransel di pundakku merosot. AKu terguling di lantai, aku? Aku belum sanggup menerima kenyataan pahit ini. Jadiii? Aku? Oh tidak!
Comments
Post a Comment